Miliarder Teknologi Berlomba untuk Menempatkan Pusat Data di Orbit: Perburuan Luar Angkasa Baru

17

Miliarder teknologi, yang sudah banyak berinvestasi dalam eksplorasi ruang angkasa, kini mengincar orbit rendah Bumi untuk hal baru: pusat data. Didorong oleh tingginya permintaan akan kekuatan pemrosesan dari AI, perusahaan seperti Google dan startup seperti Aetherflux mengusulkan armada satelit untuk menampung fasilitas ini. Ini bukan sekedar keinginan futuristik; Hal ini merupakan respons langsung terhadap meningkatnya biaya dan keterbatasan pembangunan pusat data besar-besaran di Bumi, yang menghabiskan banyak lahan, air, dan energi.

Logika Dibalik Pusat Data Orbital

Ide intinya sederhana: memanfaatkan tenaga surya tanpa batas di luar angkasa. Tidak seperti pusat data terestrial yang bergantung pada jaringan listrik yang terbatas, satelit di orbit sinkron matahari secara teori dapat mengakses energi yang berlimpah dan berkelanjutan. Hal ini akan menjadi keuntungan besar bagi beban kerja AI, yang terkenal haus daya. Namun jalan menuju dominasi orbital tidaklah mulus.

SpaceX milik Elon Musk, Blue Origin milik Jeff Bezos, dan Google sudah beralih ke komputasi berbasis ruang angkasa. Pada November 2024, Nvidia meluncurkan satelit yang dilengkapi GPU H100 melalui SpaceX, dan Tiongkok mengerahkan selusin satelit superkomputer awal tahun ini. Proyek Suncatcher Google, yang dijadwalkan pada tahun 2027, membayangkan sebuah cluster 81 satelit yang dirancang untuk bekerja secara serempak, menggunakan laser untuk menghubungkan chip TPU sebagai pengganti kabel berbasis Bumi.

Skeptisisme dari Ilmuwan Luar Angkasa

Banyak profesional luar angkasa yang tetap waspada. Astronom Jonathan McDowell, yang memantau setiap peluncuran satelit sejak akhir tahun 1980an, menunjukkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menempatkan sesuatu ke orbit. Dia berpendapat bahwa beberapa usaha didorong oleh daya tarik “ruang angkasa itu keren,” dan bukan kebutuhan nyata akan infrastruktur orbital.

Tantangan terbesarnya adalah puing-puing orbital. Orbit sinkron Matahari, yang disukai karena sinar matahari yang konsisten, juga dipenuhi dengan “ladang ranjau objek acak” yang bergerak dengan kecepatan 17.000 mph. Cluster 81-satelit Google memerlukan manuver terus-menerus untuk menghindari tabrakan, sebuah tugas yang menghabiskan bahan bakar dan menimbulkan risiko baru. McDowell mencatat bahwa mengoordinasikan pergerakan seluruh cluster belum pernah terjadi sebelumnya, karena sebagian besar pesawat ruang angkasa beroperasi secara individual.

Kendala Teknis

Selain puing-puing, ada permasalahan penting lainnya. Pembuangan panas dalam ruang hampa menjadi perhatian utama, karena perusahaan seperti Starcloud mengandalkan panel inframerah dan pelindung tebal untuk melindungi perangkat elektronik sensitif. Yang lebih menantang lagi adalah potensi polusi cahaya yang mengganggu penelitian astronomi, sebuah poin yang diangkat oleh Center for Space Environmentalism.

Selain itu, pemeliharaan perangkat keras di luar angkasa jauh lebih rumit dibandingkan di Bumi. Perbaikan rutin hampir tidak mungkin dilakukan, dan prospek pengisian bahan bakar atau reorientasi robot sebagian besar masih bersifat teoritis.

Implikasi Jangka Panjang

Meskipun terdapat hambatan-hambatan ini, tren menuju pusat data berbasis ruang angkasa kemungkinan akan terus berlanjut. Rencana Google dan Aetherflux diluncurkan pada tahun 2027, sementara Starcloud bertujuan untuk meningkatkan produksi pada tahun 2028. Pertanyaannya bukanlah jika hal ini akan terjadi, tetapi bagaimana.

Tantangan utama bagi industri ini, sebagaimana diungkapkan oleh ilmuwan luar angkasa Mojtaba Akhavan-Tafti, adalah keberlanjutan: “Bagaimana kita menjaga orbit rendah Bumi tetap terbuka bagi bisnis untuk generasi mendatang?” Jawabannya mungkin terletak pada peraturan yang lebih ketat, sistem penghindaran tabrakan yang inovatif, dan perubahan mendasar menuju pengelolaan ruang angkasa yang bertanggung jawab.